Masyarakat Sunda setidaknya telah mengenal aksara sejak zaman IV, untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Kendati demikian, masa kolonial di Indonesia membuat masyarakat Sunda dipaksa untuk meninggalkan penggunaan aksara Sunda Kuna. Padahal itu merupakan salah satu budaya mereka. Yuk intip lebih lanjut bagaimana sejarah di balik penggunaan aksara ini.
Latar Belakang dan Sejarah
Sejak akhir zaman XIX sampai dengan pertengahan XX, para peneliti asing dan bumiputra melakukan penelitian mengenai keberadaan prasasti dan naskah tua yang menggunakan aksara dari Sunda Kuna. Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan Perda terkait hal tersebut di tahun 1996.
Perda nomor 6 tahun 1996 tersebut kemudian dialihkan ke Perda Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Lalu pada tahun 1997, lokakarya aksara dari Sunda di UNPAD Jatinangor diselenggarakan, dan diputuskan sebagai aksara baku.
Semenjak itu, Sunda Baku diperkenalkan terhadap masyarakat umum lewat berbagai perkara kebudayaan yang telah dipersiapkan di Bandung. Di Museum Sri Baduga, Kantor Dinas Pariwisata Kota Bandung, dan Kampus Yayasan Atikan Sunda, penggunaan aksara baku ini banyak ditemukan. Bahkan papan nama jalan utama di beberapa kawasan Kota Tasikmalaya juga menggunakannya.
Perbandingan Sunda Kuna dan Sunda Baku
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat Sunda pada awalnya sudah lama menggunakan aksara kuna. Namun setelah kedatangan kolonial, aksara kuna dipaksa untuk ditinggalkan. Beberapa tahun setelah itu, penggunaan Sunda Baku mulai beredar diperkenalkan ke masyarakat.
Perbedaan antara Sunda Baku dan Sunda Kuna antara lain terletak pada wujudnya. Meski wujudnya mengacu pada aksara kuna, namun wujudnya sederhana sehingga gampang dituliskan. Sistem penulisannya ini berdasarkan pemisahan kata demi kata, yang mana ejaannya mengacu Bahasa Sunda mutakhir sehingga menjadi gampang dibaca oleh khalayak umum.